Zonapapuanews.- Disahkannya Papua
sebagai bagian dari Indonesia merupakan bentuk rasa memiliki masyarakat Papua
terhadap Indonesia. Keabsahan ini selalu ditanggapi berbeda oleh beberapa orang
yang tidak puas atas keabsahan Pepera 1969 diantaranya disuarakan oleh elemen
masyarakat Papua seperti Komite Nasional Papua Barat, Front Pepera PB, West
Papua National Authority dan aktivis Papua di luar negeri Benny Wenda dengan
meminta jajak pendapat ulang.
Namun selama mereka
mempertanyakan dan menolak keabsahan Pepera, tidak pernah sekalipun memberikan
bukti, fakta ataupun menghadirkan saksi atau pelaku Pepera untuk menguatkan
bahwa Pepera tidak sah, padahal negara-negara dunia melalui PBB telah mengakui
dan mensahkan Papua sebagai wilayah Indonesia berdasarkan jajak pendapat Papua
pada tanggal 1 Mei 1969 sesuai hati nurani Rakyat Papua.
Ketua Umum Barisan
Merah Putih Provinsi Papua, Ramses Ohee menegaskan, posisi Indonesia tak akan
berubah mengenai wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI, karena antara lain
berbasis kepada Pepera yang sudah disahkan berdasar resolusi PB B.
“Hasil Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) itu sah sesuai `New York Agreement` 1962 dan Pepera
ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada
tanggal 19 November 1969,” ujarnya.
Adapun beberapa
orang yang menolak keabsahan Pepera seperti dimotori oleh aktivis Papua di luar
negeri, Benny Wenda, Jennifer Robinson dan Melinda Jankie yang tergabung dalam
`International Parliementarian for West Papua (IPWP) dan International Lawyer
for West Papua (ILWP), tidak akan merubah posisi Papua dalam wialayah
Indonesia, tegasnya.
Pernyataan bahwa
Pepera sah suga disampaikan oleh salah satu saksi Pepera, Jakob Rumpaidus
sebagai perwakilan masyarakat Papua atau anggota Dewan Pepera, mewakili
tokoh-tokoh masyarakat Biak mengatakan pelaksanaan Pepera tidak ada masalah dan
dinyatakan sah, kemudian dikukuhkan dengan undang-undang, karena saat itu
dilaksanakan sesuai dengan hati nurani rakyat Papua, dengan maksud untuk
menyatukan Indonesia dari sabang sampai Merauke.
Sidang Umum PBB
untuk menentukan keabsahan Pelaksanaan Pepera diikuti oleh 84 negara, 54 negara
menyatakan setuju, 30 negara menyatakan abstain (tidak bersuara); sedangkan 5
negara tidak hadir. Pelaksanaan Pepera disaksikan oleh utusan PBB dan utusan
dari negara Belanda, sehingga tidak ada rekayasa dan pemaksaan, tetapi
dilaksanakan secara demokratis, jelasnya.
Selain itu, Jakob
Rumpaidus menjelaskan, karena kondisi geografis Papua saat itu sulit untuk
dilakukan one man one vote, maka satu-satunya jalan terbaik dilakukan
musyawarah dengan menunjuk wakil-wakil masyarakat Papua dari tiap-tiap
kabupaten sampai kecamatan, dipilih secara selektif sesuai dengan pilihan
rakyat dari berbagai suku-suku pantai sampai wilayah pegunungan. Kemudian
wakil-wakil tersebut duduk di dalam Dewan Penentuan Rakyat, untuk melaksanakan
musyawarah.
Menjawab pertanyaan
bahwa di Papua masih terjadi aksi yang menanyakan keabsahan Pepera, Jakob
mengatakan saat ini, sosialisasi pelaksanaan Pepera terhadap generasi muda
Papua dinilai masih kurang, sehingga generasi muda tidak memahami sejarah,
maksud dan tujuan dilaksanakannya Pepera 1969.
Para tokoh-tokoh
Papua terutama para pelaku Pepera mengharapkan kepada generasi muda Papua untuk
membangun Papua dan tidak lagi mempermasalahkan Pepera yang sudah di akui oleh
dunia, karena sudah jelas bahwa integrasi Papua ke NKRI 1 Mei 1969 sah sesuai
hati nurani rakyat Papua. “*ZPN”*.
0 komentar:
Posting Komentar