September 08, 2017
0

Zonapapuanews.- Disahkannya Papua sebagai bagian dari Indonesia merupakan bentuk rasa memiliki masyarakat Papua terhadap Indonesia. Keabsahan ini selalu ditanggapi berbeda oleh beberapa orang yang tidak puas atas keabsahan Pepera 1969 diantaranya disuarakan oleh elemen masyarakat Papua seperti Komite Nasional Papua Barat, Front Pepera PB, West Papua National Authority dan aktivis Papua di luar negeri Benny Wenda dengan meminta jajak pendapat ulang.

Namun selama mereka mempertanyakan dan menolak keabsahan Pepera, tidak pernah sekalipun memberikan bukti, fakta ataupun menghadirkan saksi atau pelaku Pepera untuk menguatkan bahwa Pepera tidak sah, padahal negara-negara dunia melalui PBB telah mengakui dan mensahkan Papua sebagai wilayah Indonesia berdasarkan jajak pendapat Papua pada tanggal 1 Mei 1969 sesuai hati nurani Rakyat Papua.

Ketua Umum Barisan Merah Putih Provinsi Papua, Ramses Ohee menegaskan, posisi Indonesia tak akan berubah mengenai wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI, karena antara lain berbasis kepada Pepera yang sudah disahkan berdasar resolusi PB B.

“Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) itu sah sesuai `New York Agreement` 1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969,” ujarnya.

Adapun beberapa orang yang menolak keabsahan Pepera seperti dimotori oleh aktivis Papua di luar negeri, Benny Wenda, Jennifer Robinson dan Melinda Jankie yang tergabung dalam `International Parliementarian for West Papua (IPWP) dan International Lawyer for West Papua (ILWP), tidak akan merubah posisi Papua dalam wialayah Indonesia, tegasnya.

Pernyataan bahwa Pepera sah suga disampaikan oleh salah satu saksi Pepera, Jakob Rumpaidus sebagai perwakilan masyarakat Papua atau anggota Dewan Pepera, mewakili tokoh-tokoh masyarakat Biak mengatakan pelaksanaan Pepera tidak ada masalah dan dinyatakan sah, kemudian dikukuhkan dengan undang-undang, karena saat itu dilaksanakan sesuai dengan hati nurani rakyat Papua, dengan maksud untuk menyatukan Indonesia dari sabang sampai Merauke.


Sidang Umum PBB untuk menentukan keabsahan Pelaksanaan Pepera diikuti oleh 84 negara, 54 negara menyatakan setuju, 30 negara menyatakan abstain (tidak bersuara); sedangkan 5 negara tidak hadir. Pelaksanaan Pepera disaksikan oleh utusan PBB dan utusan dari negara Belanda, sehingga tidak ada rekayasa dan pemaksaan, tetapi dilaksanakan secara demokratis, jelasnya.

Selain itu, Jakob Rumpaidus menjelaskan, karena kondisi geografis Papua saat itu sulit untuk dilakukan one man one vote, maka satu-satunya jalan terbaik dilakukan musyawarah dengan menunjuk wakil-wakil masyarakat Papua dari tiap-tiap kabupaten sampai kecamatan, dipilih secara selektif sesuai dengan pilihan rakyat dari berbagai suku-suku pantai sampai wilayah pegunungan. Kemudian wakil-wakil tersebut duduk di dalam Dewan Penentuan Rakyat, untuk melaksanakan musyawarah.

Menjawab pertanyaan bahwa di Papua masih terjadi aksi yang menanyakan keabsahan Pepera, Jakob mengatakan saat ini, sosialisasi pelaksanaan Pepera terhadap generasi muda Papua dinilai masih kurang, sehingga generasi muda tidak memahami sejarah, maksud dan tujuan dilaksanakannya Pepera 1969.


Para tokoh-tokoh Papua terutama para pelaku Pepera mengharapkan kepada generasi muda Papua untuk membangun Papua dan tidak lagi mempermasalahkan Pepera yang sudah di akui oleh dunia, karena sudah jelas bahwa integrasi Papua ke NKRI 1 Mei 1969 sah sesuai hati nurani rakyat Papua. “*ZPN”*.

0 komentar:

Posting Komentar