Zonapapuanews.-
Jayapura.-
Bergabungnya wilayah Irian Barat menjadi provinsi ke-26 Republik Indonesia pada
tahun 1969 dengan dilaksanakannya PEPERA yang diikuti oleh seluruh wakil dari
wilayah di Papua di hadapan PBB, serta dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum
PBB No. 2504 tanggal 19 Oktober 1969, adalah sebuah perjalanan panjang
perjuangan rakyat Papua. Perjuangan masyarakat Papua untuk meniatkan tekad yang
bulat untuk bergabung, berdaulat penuh dalam Republik Indonesia.
Patut diketahui juga bahwa dalam kurun waktu
yang sangat panjang tersebut, terdapat rentetan peristiwa heroik demi
mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Empat
tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau hengkang dari
Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda. Salah satunya adalah melalui
Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini berlangsung di Den Haag Belanda
tanggal 23 Agustus 1949. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas
jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan
dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2
tahun kemudian.
Dari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang sudah dilakukan, pada kenyataannya Belanda mengingkari sendiri isi
perjanjian tersebut. Sampai pada tahun 1961, Belanda masih berada di Papua.
Belanda tidak hanya bertahan tetapi lebih dari itu, mempersiapkan
langkah-langkah untuk memisahkan Papua dari Republik Indonesia. Dewan Nasional
Papua dibentuk oleh Belanda (cikal bakal Organisasi Papua Merdeka – OPM) dan
dimerdekakan secara tergesa-gesa lalu dilanjutkan pendeklarasian negara boneka
buatan Belanda ini pada tanggal 1 Desember 1961.
Kelicikan Belanda membentuk negara bonekanya
di papua itu, tentu saja membuat bangsa Indonesia berang. Maka pada tanggal 19
Desember 1961 di Alun-alun Utara Jogjakarta, Presiden Indonesia Soekarno
mengumumkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) untuk mengembalikan Irian Barat
kepangkuan Negara Republik Indonesia.
Melalui upaya diplomasi yang alot yang
difasilitasi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), Belanda akhirnya mau
menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia pada tanggal 15
Agustus 1962. Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan
Herman van Roijen serta C.W.A. Schurmann. Isi kesepakatan itu intinya memuat
road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari
kemudian (20 September 1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA
antara Indonesia dengan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya
otomatis berlaku, karena PBB terlibat.
Maka PBB pun membawa Persetujuan bilateral
(NYA) ini ke forum PBB, yang kemudian diterima dan dikukuhkan dengan Resolusi
Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21 September 1962.
Agar Belanda tidak kehilangan muka,
perundingan New York (NYA) mengatur penyerahan kekuasaan dari Belanda atas
tanah Papua dilakukan secara tidak langsung. Belanda menyerahkannya kepada PBB,
baru setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalaui referendum
(PEPERA).
Maka terjadilah pada 1 Oktober 1962, wakil
gubernur jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua Barat
kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua
tersebut. Badan PBB itu bernama UNTEA (United Nations Temporary Executive
Authority).
Pada acara penyerahan itu, H. Veldkamp
mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan Indonesia akibat persetujaun
Internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea
Barat telah ditempatkan di bawah pemerintahan yang baru : Penguasa sementara
perserikatan bangsa-bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah
berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai
pada saat pertanggungjawaban atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia
sepenuhnya.” (Mangasi Sihombing, 2006:32).
UNTEA lalu mempersiapkan referendum. Pada
tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada
Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di
Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga kini
diperingati sebagai Hari Kembalinya Papua ke dalam NKRI.
Tiga hari kemudian, tepatnya 4 Mei 1963 Bung
Karno menjejakkan kakinya di Tanah Papua. Di hadapan ribuan orang Papua di Kota
Baru, Bung Karno dengan semangat membara menyampaikan pidato :
“Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk
dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian
Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada
dulu sudah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung
Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963).
Pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan
sebagai “daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan
melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua yang di bentuk oleh belanda.
Keputusan ini ditentang oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Proses persiapan referendum memakan waktu
tujuh tahun. Baru pada tahun 1969, referendum (PEPERA) digelar dengan
disaksikan oleh dua utusan PBB. Hasilnya,Papua akhirnya kembali ke pangkuan
NKRI. Maka jadilah Papua menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian
Jaya. Namun keputusan ini lagi-lagi ditentang OPM dan sejumlah pengamat
independen yang diprovokasi Belanda.
Soekarno, sebagai penyambung lidah rakyat
Indonesia, memahami betul kondisi Papua pada saat itu. Dia tidak mau Papua
dijadikan negara boneka oleh Belanda. Sukarno berharap menciptakan tatanan
masyarakat tanpa eksploitasi di tanah Papua.
Jauh sebelum pergolakan pada zaman kemerdekaan
muncul, Papua sudah dikenal oleh beberapa bangsa di wilayah Asia. Pada saat itu
mereka sudah mengenal Papua sebagai daerah yang berada di wilayah kekuasaan
beberapa kerajaan di Nusantara.
Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dari masa
lalu Indonesia. Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara
Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar
daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar
kedua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan
bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian
Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua.
Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea
(Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk di antara kedua
negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, tapi kemudian dipisahkan oleh
sebuah garis perbatasan.
Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu
Indonesia, karena tercatat bahwa selama abad ke-8 Masehi, para penguasa dari
kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan Tiongkok.
Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cenderawasih, yang
dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua,
yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.
Dalam catatan yang tertulis di dalam kitab
Nagarakretagama, Papua juga termasuk wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520).
Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh
pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua dalam wilayah
kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada
tahun 1365. Hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak
terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit.
Selama berabad-abad dalam paruh pertama
milenium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan
pulau-pulau lainnya di Indonesia, yang hubungan tersebut bukan hanya sekadar
kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan
orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.
Seperti yang telah diurai di atas, menjelaskan
bahwa ada tautan sejarah yang sudah ada sejak lama, bahwa Papua merupakan
bagian dari Nusantara, yang merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah
negara-bangsa bernama Indonesia.
Sudah barang tentu Belanda tidak akan meninggalkan Papua begitu saja. dengan rasa iri hati dicampur dengki akibat dari kalahnya belanda dalam menguasai Papua ditambahnya dengan seluruh Rakyat Papua yang pada waktu itu Bergabung bersama tentara indonesia dalam pasukan Trikora bersukarelawan untuk mengusir Belanda, maka salah satu stategi yang dipakai oleh Belanda untuk mengacaukan Papua dan Indonesia adalah membentuk Negara Boneka yang dikenal dengan nama West papua.
Dengan demikian, seharusnya kita menyadari bahwa, usaha kelompok-kelompok kecil yang mengatasnamakan diri TPN/OPM dan sejenisnya merupakan suksesnya politik Belanda yang mengadudombakan kita sebagai kado atau bingkisan yang ditinggalnya.
By Admin
0 komentar:
Posting Komentar