Juli 08, 2017
0

Suarasagunews.- Belakangan ini kita dikagetkan oleh sosok Benny Wenda (BW) yang mengklaim sebagai tokoh sentral kemerdekaan Papua di Inggris. BW menamakan organisasinya Free West Papua Campaign (FWPC) dan berkantor di Oxford, Inggris. Ia juga mengklaim kantornya dioperasikan oleh tujuh staf. BW menuturkan lobi untuk memerdekakan Papua semakin intensif dan dikoordinasikan melalui kantor baru kelompok separatis FWPC di Oxford. Sejak namanya dicabut dari daftar Red Ntice Interpol pada 2012, pemimpin kelompok Papua Merdeka itu melakukan lobi ke berbagai negara, antara lain Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain di Pasifik.

Namun berbagai kebohongan dari Benny Wenda tercium. Terakhir Benny Wenda menolak permintaan British Broadcasting Corporation (BBC) untuk melakukan wawancara dan memotret di kantor FWPC. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa BW juga menolak memberikan gambaran rinci mengenai kantornya dan hanya menyebutkan kantor dioperasikan oleh tujuh orang staf ditambah relawan.

Pertemuan Parlemen Internasional untuk Papua Barat atau International Parliamentarians for West Papua (IPWP), yang berlangsung di Inggris dibantah keras oleh pemerintah setempat lewat kedutaan besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta, di bulan Mei tahun 2016 lalu.

“Inggris menghormati secara penuh integritas wilayah Indonesia. Kami mengakui Papua sebagai wilayah integral Indonesia. Selain itu kami juga mendukung langkah dari Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan isu yang dihadapi Provinsi Papua dan Papua Barat. Kami harap wilayah itu bisa merasakan perdamaian, stabilitas, kemakmuran serta penegakan HAM yang sama dengan wilayah lain di Indonesia,” ujar Kepala Urusan Media dan Komunikasi Kedubes Inggris James Mortime.

Disamping itu, pertemuan untuk membahas perpisahan Papua dari tubuh NKRI juga dibantah juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, yang mengatakan bahwa pertemuan tersebut bersifat ‘Cari Muka’ dan hanya dihadiri oleh orang-orang tidak jelas yang organisasinya pun tidak diakui di Inggris seperti Organisasi Komite Nasional Papua Barat atau yang lebih sering dikenal dengan KNPB di Indonesia.

“Yang kita ketahui adalah kemarin ikut serta dalam melaksanakan pertemuan itu adalah anggota Parlemen Inggris secara individu yang saya bilang merupakan‎ back benchers (yang suaranya tidak memiliki pengaruh), itu adalah anggota parlemen yang tidak dihitung karena duduknya di belakang dan enggak penting lah. Intinya itu,” ujar Arrmanatha.

 “Jadi mereka back benchers, bukan pertemuan besar, dan itu dimanfaatkan oleh kelompoknya Benny Wenda. Itu hanya pure untuk cari publikasi (cari muka). Kalau ngomong di situ katanya ada PM Tonga, nah itu kebetulan PM Tonga lagi melakukan kunjungan ke Inggris. Dan ini bukan posisi resmi pemerintah Inggris. Mereka sama sekali tidak mendukung gerakan yang dilakukan oleh Benny Wenda,” kata Arrmanatha.

Dirinya menambahkan, bahwa isu menjadi besar karena diolah sedemikian rupa oleh kelompok Benny Wenda, yang memang sangat menginginkan Papua lepas dari pelukan Indonesia. Benny Wenda sendiri diketahui sudah “kabur’ ke Inggris sejak 2003 lalu.

Aljazeera TV Tidak Mau Menayangkan Film atau Video Yang Dibuat Benny Wenda Lagi Tanpa Adanya Ijin dan Pandangan Resmi dari Pemerintahan Indonesia

Film dokumenter tentang Papua yang berjudul “Goodbye Indonesia,” diputar di Aljazeera TV, saat yang bersamaan Dunia Internasional diwakili oleh beberapa negara langsung mengklaim kepada Aljazeera TV bahwa apa yang ditayangkan tersebut adalah film provokasi perorangan yang dibuat oleh seorang Benny Wenda. Selepas menayangkan Video tersebut Aljazeera langsung meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia dengan melayangkan surat resmi dan untuk menempatkan sudut pandang resmi Indonesia dalam film dokumenter tersebut, Aljazeera menambahkan komentar dan tanggapan oleh Pemerintah Indonesia di akhir film tersebut.”


Secara tidak langsung Benny Wenda dapat diketegorikan sebagai pengacau atau yang sengaja meretakkan hubungan baik antara Indonesia dengan negara-negara sahabat Indonesia. Dengan dikacaukannya hubungan tersebut, maka dapat berdampak kepada terhambatnya pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat karena Indonesia melalui para investor asing yang akan membangun Provinsi tersebut menjadi gamang atau ragu untuk menginveskan danannya di Provinsi itu.

0 komentar:

Posting Komentar