Suarasagunews.- Belakangan ini kita
dikagetkan oleh sosok Benny Wenda (BW) yang mengklaim sebagai tokoh sentral
kemerdekaan Papua di Inggris. BW menamakan organisasinya Free West Papua
Campaign (FWPC) dan berkantor di Oxford, Inggris. Ia juga mengklaim kantornya
dioperasikan oleh tujuh staf. BW menuturkan lobi untuk memerdekakan Papua
semakin intensif dan dikoordinasikan melalui kantor baru kelompok separatis
FWPC di Oxford. Sejak namanya dicabut dari daftar Red Ntice Interpol pada
2012, pemimpin kelompok Papua Merdeka itu melakukan lobi ke berbagai negara,
antara lain Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain di Pasifik.
Namun berbagai
kebohongan dari Benny Wenda tercium. Terakhir Benny Wenda menolak permintaan
British Broadcasting Corporation (BBC) untuk melakukan wawancara dan memotret
di kantor FWPC. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa BW juga menolak
memberikan gambaran rinci mengenai kantornya dan hanya menyebutkan kantor
dioperasikan oleh tujuh orang staf ditambah relawan.
Pertemuan Parlemen
Internasional untuk Papua Barat atau International Parliamentarians for West
Papua (IPWP), yang berlangsung di Inggris dibantah keras oleh pemerintah
setempat lewat kedutaan besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta, di bulan Mei tahun
2016 lalu.
“Inggris menghormati
secara penuh integritas wilayah Indonesia. Kami mengakui Papua sebagai wilayah
integral Indonesia. Selain itu kami juga mendukung langkah dari Presiden Joko
Widodo untuk memperhatikan isu yang dihadapi Provinsi Papua dan Papua Barat.
Kami harap wilayah itu bisa merasakan perdamaian, stabilitas, kemakmuran serta
penegakan HAM yang sama dengan wilayah lain di Indonesia,” ujar Kepala Urusan
Media dan Komunikasi Kedubes Inggris James Mortime.
Disamping itu,
pertemuan untuk membahas perpisahan Papua dari tubuh NKRI juga dibantah juru
bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, yang mengatakan
bahwa pertemuan tersebut bersifat ‘Cari Muka’ dan hanya dihadiri oleh
orang-orang tidak jelas yang organisasinya pun tidak diakui di Inggris seperti
Organisasi Komite Nasional Papua Barat atau yang lebih sering dikenal dengan
KNPB di Indonesia.
“Yang kita ketahui
adalah kemarin ikut serta dalam melaksanakan pertemuan itu adalah anggota
Parlemen Inggris secara individu yang saya bilang merupakan back benchers
(yang suaranya tidak memiliki pengaruh), itu adalah anggota parlemen yang tidak
dihitung karena duduknya di belakang dan enggak penting lah. Intinya itu,” ujar
Arrmanatha.
“Jadi mereka back benchers, bukan pertemuan
besar, dan itu dimanfaatkan oleh kelompoknya Benny Wenda. Itu hanya pure untuk
cari publikasi (cari muka). Kalau ngomong di situ katanya ada PM Tonga, nah itu
kebetulan PM Tonga lagi melakukan kunjungan ke Inggris. Dan ini bukan posisi
resmi pemerintah Inggris. Mereka sama sekali tidak mendukung gerakan yang
dilakukan oleh Benny Wenda,” kata Arrmanatha.
Dirinya menambahkan,
bahwa isu menjadi besar karena diolah sedemikian rupa oleh kelompok Benny
Wenda, yang memang sangat menginginkan Papua lepas dari pelukan Indonesia.
Benny Wenda sendiri diketahui sudah “kabur’ ke Inggris sejak 2003 lalu.
Aljazeera TV Tidak
Mau Menayangkan Film atau Video Yang Dibuat Benny Wenda Lagi Tanpa Adanya Ijin
dan Pandangan Resmi dari Pemerintahan Indonesia
Film dokumenter
tentang Papua yang berjudul “Goodbye Indonesia,” diputar di Aljazeera TV, saat
yang bersamaan Dunia Internasional diwakili oleh beberapa negara langsung
mengklaim kepada Aljazeera TV bahwa apa yang ditayangkan tersebut adalah film
provokasi perorangan yang dibuat oleh seorang Benny Wenda. Selepas menayangkan
Video tersebut Aljazeera langsung meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia
dengan melayangkan surat resmi dan untuk menempatkan sudut pandang resmi
Indonesia dalam film dokumenter tersebut, Aljazeera menambahkan komentar dan
tanggapan oleh Pemerintah Indonesia di akhir film tersebut.”
Secara tidak
langsung Benny Wenda dapat diketegorikan sebagai pengacau atau yang sengaja
meretakkan hubungan baik antara Indonesia dengan negara-negara sahabat
Indonesia. Dengan dikacaukannya hubungan tersebut, maka dapat berdampak kepada
terhambatnya pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat karena
Indonesia melalui para investor asing yang akan membangun Provinsi tersebut
menjadi gamang atau ragu untuk menginveskan danannya di Provinsi itu.
0 komentar:
Posting Komentar