Februari 09, 2017
0

PAPUA, JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH

Suarasagunews.- Di tengah menguatnya wacana seputar kemerdekaan Papua akhir-akhir ini, mungkin tidak ada salahnya kita mengingat kembali sejarah nasionalisme bangsa Papua (yang dulu bernama Irian) dan hubungan batin mereka dengan saudara-saudara seperjuangannya dari daerah lain dalam membentuk sebuah nasion baru yang bernama ‘Indonesia’.

Konflik kepentingan yang makin meruncing di Papua, khususnya soal pengelolaan sumber daya alam, yang berdampak kepada banyak aspek lain dalam ranah sosial dan politik, termasuk hak azasi manusia (HAM), telah membuat orang lupa, atau setidaknya mengenyampingkan, sejarah perjuangan masyarakat Papua membebaskan dirinya dari penjajahan Belanda untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun ini, kiranya tidak ada salahnya kalau kita mencoba kembali mengingat nasionalisme keindonesiaan orang Papua di masa lampau. Salah seorang republiken asal Papua yang namanya makin tenggelam dalam hiruk-pikuk politik negeri ini adalah Silas Papare. Putra Papua asli asal Serui ini adalah pendiri dan pemimpin utama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).
Didirikan di Serui pada tahun 1946, PKII telah berperan penting dalam menumbuhkan dan membesarkan benih nasionalisme keindonesiaan di Tanah Papua (Irian). Di bawah ancaman penjajah Belanda, aktivitas PKII dinyatakan ilegal. Akan tetapi Papare dan kawan-kawannya terus berjuang di bawah tanah. Dalam tekanan Belanda yang ketat itu anggota PKII terus bertambah. Pada tahun 1949 PKII tercatat memiliki anggota 4000 orang.

Pihak Belanda selalu menonjolkan tokoh-tokoh boneka binaannya, seperti Johan Ariks, Jouwe, Kaseppo, dll., juga selama berlangsungnya persidangan Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus - 2 November 1949 di Den Haag. Belanda menutup rapat-rapat segala informasi yang terkait dengan aktvitas politik Silas Papare dan pemimpin PKII lainnya, seperti B. Aninam, M. Abaa, A. Papara, S. Rumbewas, A. Kamaria, dll.

Perang klaim antara Indonesia dan Belanda terhadap Irian adalah salah satu soal yang pelik dalam KMB. M. Yamin yang menjadi salah seorang juru runding Indonesia dalam KMB terus mematahkan segala argumentasi Belanda yang ingin tetap menguasai Irian. Dengan penjelasan historisnya, antara lain dengan merujuk kitab Negarakertagama, Yamin berargumen bahwa Irian adalah bagian yang sah dari Republik Indonesia.

Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT), Ida Anak Agung Gde Agung, bahkan mengultimatum Belanda bahwa jika sampai Irian tidak dimasukkan ke dalam RIS (Republik Indonesia Serikat), maka NIT tidak akan bersedia menandatangani persetujuan apapun dengan Belanda. Sebaliknya, wakil Belanda J.H. Maarseveen, mengancam mundur jika seandainya Irian terpaksa lepas dari tangan Belanda.

Di Serui, gerak-gerik para pemimpin PKII selalu diawasi oleh Belanda dengan ketat. Keluar dari Pulau Serui saja mereka dilarang, apalagi keluar dari wilayah Irian. Baru pada tahun 1949 Silas Papere berhasil sampai di Jawa dengan cara mengelabui otoritas Belanda dengan berpura-pura setuju untuk bekerjasama dengan kaki tangan Belanda Johan Ariks dan kawan-kawannya dan bertemu dengan mereka di Jakarta.

Akan tetapi setelah sampai di Jakarta, tanpa diketahui Belanda, Papare pergi ke Yogyakarta untuk menemui Presiden Sukarno. Kepada Bung Karno, Papare menjelaskan perjuangan PKII dan menyampaikan keinginan rakyat Irian untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sebelumnya, seorang pejuang kemerdekaan Irian lainnya, Karubui, telah berhasil pula sampai di Jawa. Karubui berpidato dalam salah satu sidang Kongres Nasional Indonesia di mana ia menyampaikan cita-cita rakyat Irian untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

Dalam wawancara dengan wartawan Madjalah Merdeka pada bulan Oktober 1949, Papare menjelaskan bahwa ketika peresmian PKII tahun 1946, Sam Ratulangi yang sedang dibuang Belanda di Serui ingin hadir, tapi dilarang oleh Belanda. Larangan itu justru membuat anggota PKII makin bersemangat. PKII semakin populer dan anggotanya makin bertambah, baik di kalangan rakyat jelata maupun guru-guru, tuan-tuan tanah, pamong praja, dll.

Pembuangan Ratulangi ke Serui ternyata telah menghidupkan semangat keindonesiaan di kalangan penduduk pulau itu, yang juga bergaung ke daratan Irian. Ratulangi membuka kesadaran nasionalisme para pemimpin pribumi dan penduduk Serui. Silas Papare yang juga berkenalan dengan Ratulangi semakin yakin dengan perjuangannya untuk membawa rakyat Irian bernaung di bawah bendera Republik Indonesia.

Ketika berada di Yogyakarta, Papare menyampaikan kepada media bahwa ia, sebagai ketua PKII, diberi mandat oleh rakyat Irian untuk menyampaikan keinginan mereka supaya Irian dimasukkan sebagai bagian dari RIS. Ia menyatakan bahwa Johan Ariks, Jouwe, dan Kaseppo bukanlah wakil rakyat Irian, tapi semata-mata boneka Belanda untuk mengelabui dunia agar muncul kesan bahwa Irian tidak ingin bergabung dengan Republik Indonesia. Sejak itulah, gelora kemerdekaan dan keinginan penduduk pulau utama paling timur wilayah Nusantara itu terdengar gaungnya ke mana-mana. Belanda tidak dapat lagi menutup-nutupi apa yang terjadi di Irian. Setelah KMB berakhir, tuntutan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan Irian dan menjadi bagian dari Republik Indonesia makin menguat.

Perjuangan panjang Rakyat Irian untuk menjadi bagian Republik Indonesia Walaupun secara resmi PKII berdiri tahun 1946, tetapi perjuangan rakyat Irian untuk mencapai kemerdekaan dan menjadi bagian dari Republik Indonesia sudah muncul sebelum itu. Papare mengatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diucapkan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945 sampai pula ke Irian melalui perantaraan orang-orang Amerika. “Mulai diwaktu itulah timbulnja hasrat memperdjuangkan kemerdekaan [Irian] sesuai dengan panggilan proklamasi itu”, demikian ungkap Papare sebagaimana dikutip oleh Madjalah Merdeka, No. 45, Th. II, 5 Nopember 1949:8. Kedatangan Sam Ratulangi dan keluarganya di Serui sebagai tahanan Belanda pada 1946 makin membuka mata rakyat setempat tentang kemerdekaan Indonesia.

Semangat kemedekaan di kalangan rakyat Irian tentu saja menimbulkan gesekan dengan otoritas penjajah Belanda yang ingin tetap mengekang mereka. Pada tahun 1946 timbul pemberontakan di Hollandia (sekarang: Jayapura). Ketika itu kekuatan rakyat dari berbagai lapisan masyarakat bersiap mengadakan gerakan yang sesuai dengan tujuan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi rencana itu sudah diketahui terlebih dahulu oleh Belanda sehingga para pemimpin gerakan itu ditangkapi dan dipenjarakan.
Pada tahun 1947 muncul lagi gerakan serupa. Keinginan rakyat Irian pada waktu itu adalah agar mereka diperbolehkan mengirimkan wakil mereka sendiri ke Konferensi Malino, yang kemudian menjadi dasar pembentukan NIT. Akan tatapi permintaan mereka itu tidak dikabulkan oleh Belanda. Perasaan tidak puas kemudian meluap menjadi pemberontakan. Namun, sekali lagi Belanda berhasil menindas gerakan rakyat Irian itu sebelum berkobar lebih hebat. Mereka menangkapi para pemimpin gerakan itu, bahkan juga para kepala kampung.

Kepada media Silas Papare menyatakan bahwa jika diadakan pemilihan umum di bawah pengawasan UNCI - United Nations Commissions for Indonesia, yang dibentuk tgl. 28 Januari 1949 untuk menggantikan Komisi Tiga Negara (KTN) - , ia yakin 95% rakyat Irian akan setuju untuk bergabung dengan RIS. Papare juga mengatakan bahwa “penduduk Irian lebih pandai berbahasa Indonesia dari penduduk Djawa, jang tentu masih banjak jang tidak mengerti bahasa persatuan ini”. “Di Irian”, demikian Papare, “sampai pada kakek-kakek jang ompong dan masih berkantjut [berkoteka] itu bisa [ber]bahasa Indonesia..... .” (ibid.). Hal ini memberi kesadaran kepada mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Silas Papare adalah keturunan Papua asli. Ia lahir di Serui pada tahun 1918. Di masa kecilnya Papare masuk sekolah zending. Ia juga pernah mendapat pendidikan juru rawat dan pernah pula bekerja di rumah sakit di Serui selama 3 tahun. Kemudian ia bekerja di sebuah perusahaan minyak di Sorong. Di sana ia berkenalan dengan beberapa orang Amerika, yang menurut pandangannya lebih demokratis daripada orang Belanda. Ia bekerja di Sorong sampai Jepang masuk pada awal 1942.

Ketika Jepang menduduki Irian, Silas kembali ke kampungnya dan menjadi petani. Ia enggan bekerjasama dengan Jepang yang dianggapnya tidak akan membawa perbaikan kepada nasib orang Irian. Pada tahun 1944 Papare dijemput oleh sebuah pesawat Amerika dan dibawa ke sebuah pulau kecil. Sejak itu ia menjadi mata-mata Amerika, tetapi dengan maksud tiada lain untuk membantu Amerika mengusir Jepang dari Irian.

Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2, Belanda datang lagi dan mendirikan pemerintahan kolonialnya di Irian. Papare yang tidak menyukai Belanda pergi menghindar lagi. Ia kembali ke Serui dan bekerja di rumah sakit. Setahun kemudian, ia dan beberapa orang teman seperjuangan mendirikan PKII di Serui. Aksi politiknya itu jelas membawa akibat pada dirinya.

Papare lalu ditangkap Belanda dan ditahan di tangsi Serui, tapi ia berhasil kabur. Kemudian Papare ditangkap lagi dan dibawa ke Biak. Dengan bantuan teman-temannya, ia berhasil lagi melarikan diri ke Serui. Akan tetapi, Belanda menangkapnya lagi dan membawanya ke Biak, lalu ke Hollandia (Jayapura) di mana ia dijatuhi hukumuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.

Akan tetapi ia tidak jadi menjalani hukuman itu secara penuh. Residen Hollandia membebaskannya dengan pertimbangan bahwa ia sudah banyak membantu Amerika, sahabat Belanda, selama perang melawan Jepang. Papare kembali lagi ke Serui dan terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsanya untuk bersatu di bawah bendera merah putih.

Kemunculan Papare di Ibukota RI Yogyakarta pada bulan November 1949 adalah untuk “membentangkan kepada umum sekitar perdjuangannja dan hasrat rakjat Irian” yang ingin “turut merasakan kemerdekaan bersama-sama dengan saudara-saudaranja didaerah lain.” (ibid.:9). Papare bertahan di Jawa karena ia tidak mungkin kembali ke Serui, sebab Belanda pasti sudah menunggunya dengan borgol dan bilik penjara.

Di Yogyakarta, Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian pada bulan Oktober 1949. Konfrontasi yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong Papare terus aktif dalam perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari cengkeraman penjajah Belanda. Papare kemudian aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke PBB, Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus 1954.

Akan tetapi masalah Irian terus berlarut-larut. Papare kemudian diminta oleh Presiden Sukarno menjadi salah seorang anggota delegasi Indonesia dalam New York Agreement tentang Irian Barat yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Papare kemudian diangkat menjadi angota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian Barat. Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dimenangkan oleh pihak yang pro Republik Indonesia mewujudkan dugaan Papare yang dinyatakannya 20 tahun sebelumnya: bahwa sebagian besar rakyat Irian akan memilih bergabung dengan Republik Indonesia.

Pada tahun 1970an Silas Papare kembali ke tanah kelahirannya di Serui. Republiken tulen putra asli Papua (Irian) itu meninggal di pulau kelahirannya itu pada 7 Maret 1973 dalam usia 55 tahun. Namanya diabadikan menjadi salah satu korvet Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan nomor lambung 386. Selain itu, di pelabuhan laut Serui, didirikan pula Monumen Silas Papare. Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama sebuah perguruan tinggi: Sekolah Tinggi Ilmu Politik (STISIPOL) Silas Papare.

Demikianlah kisah perjuangan Silas Papare. Mengenang republiken tulen dari timur itu sempena peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun ini mungkin dapat mengingatkan lagi penguasa negeri ini untuk mempertegas komitmen mereka untuk membangun Papua yang sejahtera dan damai, meningkatkan kualitas kehidupan rakyatnya serta menjaga martabat mereka, baik sebagai manusia dan terutama sekali karena mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang mestinya sederajat dan memperolah perlakuan yang sama dengan sanak saudara mereka di daerah-daerah lain di negara ini. Arwah Silas Papare menunggu janji-janjimu kepada rakyat Papua.

0 komentar:

Posting Komentar