PAPUA, JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH
Suarasagunews.- Di tengah menguatnya
wacana seputar kemerdekaan Papua akhir-akhir ini, mungkin tidak ada salahnya
kita mengingat kembali sejarah nasionalisme bangsa Papua (yang dulu bernama
Irian) dan hubungan batin mereka dengan saudara-saudara seperjuangannya dari
daerah lain dalam membentuk sebuah nasion baru yang bernama ‘Indonesia’.
Konflik kepentingan
yang makin meruncing di Papua, khususnya soal pengelolaan sumber daya alam,
yang berdampak kepada banyak aspek lain dalam ranah sosial dan politik,
termasuk hak azasi manusia (HAM), telah membuat orang lupa, atau setidaknya
mengenyampingkan, sejarah perjuangan masyarakat Papua membebaskan dirinya dari
penjajahan Belanda untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Menjelang peringatan
kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun ini, kiranya tidak ada salahnya
kalau kita mencoba kembali mengingat nasionalisme keindonesiaan orang Papua di
masa lampau. Salah seorang republiken asal Papua yang namanya makin tenggelam
dalam hiruk-pikuk politik negeri ini adalah Silas Papare. Putra Papua asli asal
Serui ini adalah pendiri dan pemimpin utama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian
(PKII).
Didirikan di Serui
pada tahun 1946, PKII telah berperan penting dalam menumbuhkan dan membesarkan
benih nasionalisme keindonesiaan di Tanah Papua (Irian). Di bawah ancaman
penjajah Belanda, aktivitas PKII dinyatakan ilegal. Akan tetapi Papare dan
kawan-kawannya terus berjuang di bawah tanah. Dalam tekanan Belanda yang ketat
itu anggota PKII terus bertambah. Pada tahun 1949 PKII tercatat memiliki
anggota 4000 orang.
Pihak Belanda selalu
menonjolkan tokoh-tokoh boneka binaannya, seperti Johan Ariks, Jouwe, Kaseppo,
dll., juga selama berlangsungnya persidangan Konferensi Meja Bundar (KMB), 23
Agustus - 2 November 1949 di Den Haag. Belanda menutup rapat-rapat segala
informasi yang terkait dengan aktvitas politik Silas Papare dan pemimpin PKII
lainnya, seperti B. Aninam, M. Abaa, A. Papara, S. Rumbewas, A. Kamaria, dll.
Perang klaim antara
Indonesia dan Belanda terhadap Irian adalah salah satu soal yang pelik dalam
KMB. M. Yamin yang menjadi salah seorang juru runding Indonesia dalam KMB terus
mematahkan segala argumentasi Belanda yang ingin tetap menguasai Irian. Dengan
penjelasan historisnya, antara lain dengan merujuk kitab Negarakertagama, Yamin
berargumen bahwa Irian adalah bagian yang sah dari Republik Indonesia.
Perdana Menteri
Negara Indonesia Timur (NIT), Ida Anak Agung Gde Agung, bahkan mengultimatum
Belanda bahwa jika sampai Irian tidak dimasukkan ke dalam RIS (Republik
Indonesia Serikat), maka NIT tidak akan bersedia menandatangani persetujuan
apapun dengan Belanda. Sebaliknya, wakil Belanda J.H. Maarseveen, mengancam
mundur jika seandainya Irian terpaksa lepas dari tangan Belanda.
Di Serui,
gerak-gerik para pemimpin PKII selalu diawasi oleh Belanda dengan ketat. Keluar
dari Pulau Serui saja mereka dilarang, apalagi keluar dari wilayah Irian. Baru
pada tahun 1949 Silas Papere berhasil sampai di Jawa dengan cara mengelabui
otoritas Belanda dengan berpura-pura setuju untuk bekerjasama dengan kaki
tangan Belanda Johan Ariks dan kawan-kawannya dan bertemu dengan mereka di
Jakarta.
Akan tetapi setelah
sampai di Jakarta, tanpa diketahui Belanda, Papare pergi ke Yogyakarta untuk
menemui Presiden Sukarno. Kepada Bung Karno, Papare menjelaskan perjuangan PKII
dan menyampaikan keinginan rakyat Irian untuk menjadi bagian dari Republik
Indonesia. Sebelumnya, seorang pejuang kemerdekaan Irian lainnya, Karubui,
telah berhasil pula sampai di Jawa. Karubui berpidato dalam salah satu sidang
Kongres Nasional Indonesia di mana ia menyampaikan cita-cita rakyat Irian untuk
bergabung dengan Republik Indonesia.
Dalam wawancara
dengan wartawan Madjalah Merdeka pada bulan Oktober 1949, Papare menjelaskan
bahwa ketika peresmian PKII tahun 1946, Sam Ratulangi yang sedang dibuang
Belanda di Serui ingin hadir, tapi dilarang oleh Belanda. Larangan itu justru
membuat anggota PKII makin bersemangat. PKII semakin populer dan anggotanya
makin bertambah, baik di kalangan rakyat jelata maupun guru-guru, tuan-tuan
tanah, pamong praja, dll.
Pembuangan Ratulangi
ke Serui ternyata telah menghidupkan semangat keindonesiaan di kalangan
penduduk pulau itu, yang juga bergaung ke daratan Irian. Ratulangi membuka
kesadaran nasionalisme para pemimpin pribumi dan penduduk Serui. Silas Papare
yang juga berkenalan dengan Ratulangi semakin yakin dengan perjuangannya untuk
membawa rakyat Irian bernaung di bawah bendera Republik Indonesia.
Ketika berada di
Yogyakarta, Papare menyampaikan kepada media bahwa ia, sebagai ketua PKII,
diberi mandat oleh rakyat Irian untuk menyampaikan keinginan mereka supaya
Irian dimasukkan sebagai bagian dari RIS. Ia menyatakan bahwa Johan Ariks,
Jouwe, dan Kaseppo bukanlah wakil rakyat Irian, tapi semata-mata boneka Belanda
untuk mengelabui dunia agar muncul kesan bahwa Irian tidak ingin bergabung
dengan Republik Indonesia. Sejak itulah, gelora kemerdekaan dan keinginan
penduduk pulau utama paling timur wilayah Nusantara itu terdengar gaungnya ke
mana-mana. Belanda tidak dapat lagi menutup-nutupi apa yang terjadi di Irian.
Setelah KMB berakhir, tuntutan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan Irian dan
menjadi bagian dari Republik Indonesia makin menguat.
Perjuangan panjang
Rakyat Irian untuk menjadi bagian Republik Indonesia Walaupun secara resmi PKII
berdiri tahun 1946, tetapi perjuangan rakyat Irian untuk mencapai kemerdekaan
dan menjadi bagian dari Republik Indonesia sudah muncul sebelum itu. Papare
mengatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diucapkan Dwi Tunggal
Sukarno-Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945 sampai pula ke Irian melalui
perantaraan orang-orang Amerika. “Mulai diwaktu itulah timbulnja hasrat
memperdjuangkan kemerdekaan [Irian] sesuai dengan panggilan proklamasi itu”,
demikian ungkap Papare sebagaimana dikutip oleh Madjalah Merdeka, No. 45, Th.
II, 5 Nopember 1949:8. Kedatangan Sam Ratulangi dan keluarganya di Serui
sebagai tahanan Belanda pada 1946 makin membuka mata rakyat setempat tentang
kemerdekaan Indonesia.
Semangat kemedekaan
di kalangan rakyat Irian tentu saja menimbulkan gesekan dengan otoritas
penjajah Belanda yang ingin tetap mengekang mereka. Pada tahun 1946 timbul
pemberontakan di Hollandia (sekarang: Jayapura). Ketika itu kekuatan rakyat
dari berbagai lapisan masyarakat bersiap mengadakan gerakan yang sesuai dengan
tujuan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi rencana itu sudah
diketahui terlebih dahulu oleh Belanda sehingga para pemimpin gerakan itu
ditangkapi dan dipenjarakan.
Pada tahun 1947
muncul lagi gerakan serupa. Keinginan rakyat Irian pada waktu itu adalah agar
mereka diperbolehkan mengirimkan wakil mereka sendiri ke Konferensi Malino,
yang kemudian menjadi dasar pembentukan NIT. Akan tatapi permintaan mereka itu
tidak dikabulkan oleh Belanda. Perasaan tidak puas kemudian meluap menjadi
pemberontakan. Namun, sekali lagi Belanda berhasil menindas gerakan rakyat
Irian itu sebelum berkobar lebih hebat. Mereka menangkapi para pemimpin gerakan
itu, bahkan juga para kepala kampung.
Kepada media Silas
Papare menyatakan bahwa jika diadakan pemilihan umum di bawah pengawasan UNCI -
United Nations Commissions for Indonesia, yang dibentuk tgl. 28 Januari 1949
untuk menggantikan Komisi Tiga Negara (KTN) - , ia yakin 95% rakyat Irian akan
setuju untuk bergabung dengan RIS. Papare juga mengatakan bahwa “penduduk Irian
lebih pandai berbahasa Indonesia dari penduduk Djawa, jang tentu masih banjak
jang tidak mengerti bahasa persatuan ini”. “Di Irian”, demikian Papare, “sampai
pada kakek-kakek jang ompong dan masih berkantjut [berkoteka] itu bisa
[ber]bahasa Indonesia..... .” (ibid.). Hal ini memberi kesadaran kepada mereka
sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Silas Papare adalah
keturunan Papua asli. Ia lahir di Serui pada tahun 1918. Di masa kecilnya
Papare masuk sekolah zending. Ia juga pernah mendapat pendidikan juru rawat dan
pernah pula bekerja di rumah sakit di Serui selama 3 tahun. Kemudian ia bekerja
di sebuah perusahaan minyak di Sorong. Di sana ia berkenalan dengan beberapa
orang Amerika, yang menurut pandangannya lebih demokratis daripada orang
Belanda. Ia bekerja di Sorong sampai Jepang masuk pada awal 1942.
Ketika Jepang
menduduki Irian, Silas kembali ke kampungnya dan menjadi petani. Ia enggan
bekerjasama dengan Jepang yang dianggapnya tidak akan membawa perbaikan kepada
nasib orang Irian. Pada tahun 1944 Papare dijemput oleh sebuah pesawat Amerika
dan dibawa ke sebuah pulau kecil. Sejak itu ia menjadi mata-mata Amerika,
tetapi dengan maksud tiada lain untuk membantu Amerika mengusir Jepang dari
Irian.
Ketika Jepang kalah
dalam Perang Dunia ke-2, Belanda datang lagi dan mendirikan pemerintahan
kolonialnya di Irian. Papare yang tidak menyukai Belanda pergi menghindar lagi.
Ia kembali ke Serui dan bekerja di rumah sakit. Setahun kemudian, ia dan
beberapa orang teman seperjuangan mendirikan PKII di Serui. Aksi politiknya itu
jelas membawa akibat pada dirinya.
Papare lalu
ditangkap Belanda dan ditahan di tangsi Serui, tapi ia berhasil kabur. Kemudian
Papare ditangkap lagi dan dibawa ke Biak. Dengan bantuan teman-temannya, ia
berhasil lagi melarikan diri ke Serui. Akan tetapi, Belanda menangkapnya lagi
dan membawanya ke Biak, lalu ke Hollandia (Jayapura) di mana ia dijatuhi
hukumuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Akan tetapi ia tidak
jadi menjalani hukuman itu secara penuh. Residen Hollandia membebaskannya
dengan pertimbangan bahwa ia sudah banyak membantu Amerika, sahabat Belanda,
selama perang melawan Jepang. Papare kembali lagi ke Serui dan terus berjuang
untuk mencapai kemerdekaan bangsanya untuk bersatu di bawah bendera merah
putih.
Kemunculan Papare di
Ibukota RI Yogyakarta pada bulan November 1949 adalah untuk “membentangkan
kepada umum sekitar perdjuangannja dan hasrat rakjat Irian” yang ingin “turut
merasakan kemerdekaan bersama-sama dengan saudara-saudaranja didaerah lain.”
(ibid.:9). Papare bertahan di Jawa karena ia tidak mungkin kembali ke Serui,
sebab Belanda pasti sudah menunggunya dengan borgol dan bilik penjara.
Di Yogyakarta,
Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian pada bulan Oktober 1949. Konfrontasi
yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong
Papare terus aktif dalam perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari
cengkeraman penjajah Belanda. Papare kemudian aktif dalam Front Nasional
Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke PBB,
Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus
1954.
Akan tetapi masalah
Irian terus berlarut-larut. Papare kemudian diminta oleh Presiden Sukarno
menjadi salah seorang anggota delegasi Indonesia dalam New York Agreement
tentang Irian Barat yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri
konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Papare kemudian diangkat
menjadi angota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian
Barat. Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dimenangkan oleh
pihak yang pro Republik Indonesia mewujudkan dugaan Papare yang dinyatakannya
20 tahun sebelumnya: bahwa sebagian besar rakyat Irian akan memilih bergabung
dengan Republik Indonesia.
Pada tahun 1970an
Silas Papare kembali ke tanah kelahirannya di Serui. Republiken tulen putra
asli Papua (Irian) itu meninggal di pulau kelahirannya itu pada 7 Maret 1973
dalam usia 55 tahun. Namanya diabadikan menjadi salah satu korvet Angkatan Laut
Republik Indonesia (ALRI) dengan nomor lambung 386. Selain itu, di pelabuhan
laut Serui, didirikan pula Monumen Silas Papare. Sementara di Jayapura, namanya
diabadikan sebagai nama sebuah perguruan tinggi: Sekolah Tinggi Ilmu Politik
(STISIPOL) Silas Papare.
Demikianlah kisah perjuangan Silas Papare. Mengenang republiken tulen
dari timur itu sempena peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun
ini mungkin dapat mengingatkan lagi penguasa negeri ini untuk mempertegas
komitmen mereka untuk membangun Papua yang sejahtera dan damai, meningkatkan
kualitas kehidupan rakyatnya serta menjaga martabat mereka, baik sebagai
manusia dan terutama sekali karena mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia
yang mestinya sederajat dan memperolah perlakuan yang sama dengan sanak saudara
mereka di daerah-daerah lain di negara ini. Arwah Silas Papare menunggu
janji-janjimu kepada rakyat Papua.
0 komentar:
Posting Komentar